Aswajatv.id – Sebuah rumah di kawasan Cideng Barat menjadi saksi kehidupan H. Djamaluddin Tarigan, Anggota DPR RI tahun 1977-1982 yang juga Ketua PWNU Sumatera Barat. Tidak banyak yang mengetahui peran Djamaluddin Tarigan sang pemilik rumah, merupakan salah satu tokoh kunci dalam sejarah pembuatan lidah api berlapis emas di puncak Monas sebagai simbol kemenangan perjuangan bangsa.
Hal ini terungkap pada kegiatan lawatan Silaturahmi Kebangsaan yang dipimpin Ketua Umum PP Pemuda Panca Marga Samsudin Siregar pada Rabu (4/12) didampingi KH. Abdul Mun’im DZ, penulis buku Fragmen Sejarah Nahdhatul Ulama : Menyambung Akar Budaya Nusantara.
Dalam lawatan itu Samsudin Siregar menyatakan apresiasi yang besar terhadap upaya KH Abdul Mun’im DZ menghadirkan 194 kisah yang berisi informasi langka sejarah dan peran ulama dan Nadlatul Ulama dalam menjaga NKRI dan mengembangkan politik kebangsaan.
“Tidak disangka salah satu kisah sejarah yang tertera dalam buku itu mengangkat kisah unik dibalik emas monas dimana H Djamaluddin Tarigan juga ayah kandung dari pesinetron Anna Tarigan, Ketua Bidang Ekonomi PP Pemuda Panca Marga hasil Munas X tahun 2019” jelas Samsudin.
Anna Tarigan yang turut mendampingi lawatan rombongan PPM dan tokoh NU ke kediaman ayandanya terlihat menangis haru mengingat sejumlah kenangan yang dialaminya bersama ayanda.
Lebih lanjut KH Abdul Mun’im DZ menyatakan kisah keterlibatan Djamaluddin Tarigan berawal dari pembangunan Monumen Nasional (Monas) ditengah peristiwa penaklukan Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Permesta.
Ketika posisi militer PRRI terus terdesak maka sejumlah anggota PRRI berupaya menyelamatkan harta kekayaan PRRI sebagai bekal meneruskan pemberontakan, agar tidak jatuh ke tangan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang kemudian menjadi TNI. Didalamnya terdapat dua kader NU Sumatera Barat (Sumbar) yaitu Saridin Syarif dan Djamaladdin Tarigan yang dipaksa PRRI mengikuti perintah penyelamatan harta tersebut.
Saridin Syarif diminta mengambil sekarung emas, sementara Djamaluddin Tarigan diperintah membawa sekarung makanan. Ditengah perjalanan kedua pemuda tersebut berupaya melarikan diri saat pasukan pemberontak masuk ke hutan dan akhirnya berhasil mengambil jalan lain secara sembunyi-sembunyi untuk turun gunung dan keluar dari hutan.
Pembelotan mereka berhasil dengan baik tanpa ketahuan pimpinan pasukan PRRI. Setibanya di tempat yang dirasa aman dan hendak memakan perbekalan, mereka terkejut, ternyata karung yang dibawa Djamaluddin Tarigan selain berisi bahan makanan ternyata juga berisi emas lantakan dengan cap Bank Indonesia (BI)
Dari peristiwa itu akhirnya terungkap bahwa emas lantakan bercap BI tersebut adalah emas jaminan Bank Indonesia, yang dibobol oleh mantan Presiden Bank Indonesia (BI) Syafruddin Prawiranegara, aktivis Masyumi yang saat itu menjadi Perdana Menteri PRRI di hutan.
Total emas yang dibawa berbobot 18 kilogram, lalu diserahkan semuanya pada Panglima Operasi 17 Agustus, yaitu Kolonel Ahmad Yani. Sebagai bukti kemenangan perang maka barang itu diserahkan oleh Kolonel Ahmad Yani pada Ir. Soekarno.
Menurut Soekarno emas batangan yang diterimanya itu tidak hanya memiliki nilai ekonomis, namun juga memiliki nilai historis dan politis yang sangat tinggi.
Oleh karenanya, emas tersebut diputuskan Bung Karno tidak dikembalikan ke BI sebagai jaminan bank, melainkan sebagai simbol monumen perjuangan. Maka simbol kemenangan perjuangan itu diabadikan sebagai lidah api berlapis emas membara di puncak Monas yang berbentuk kobaran api revolusi perjuangan bangsa.
Sebagai penanda kecintaan Djamaluddin Tarigan terhadap NKRI dan Nahdlatul Ulama, dia mengabadikan lambang NU di dinding penyangga rumahnya yang menyambungkan lantai 1 ke ruang atas.
Saat kunjungan Pemuda Panca Marga ke rumah tersebut, lambing NU yang terpatri di dinding tangga tersebut terlihat masih utuh dan kokoh meski terlihat pudar dimakan jaman. (rfz)