NgAllah Suluk Maleman: Membincang Tuhan di Antara Sains, Agama, dan Mata Hati

0
44
NgAllah Suluk Maleman: Membincang Tuhan di Antara Sains, Agama, dan Mata Hati
Anis Sholeh Ba’asyin dan Dr. Abdul Jalil dalam NgAllah Suluk Maleman ‘Tuhan Dalam Pemahaman Manusia’ yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Sabtu (19/7/2025).

Kudus, aswajatv.id – Forum pemikiran NgAllah Suluk Maleman kembali digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia pada Sabtu, 19 Juli 2025, dengan tema kontemplatif: “Tuhan dalam Pemahaman Manusia.” Acara ini menghadirkan pemikir Anis Sholeh Ba’asyin dan budayawan Dr Abdul Jalil, membedah kompleksitas konsep ketuhanan dari perspektif sejarah, filsafat, dan budaya spiritual.

Dalam pembukaannya, Anis menyoroti bahwa ateisme bukanlah produk modern atau hasil perkembangan sains semata. Ia mengungkap bahwa kepercayaan kepada Tuhan yang Esa telah ada sejak awal peradaban manusia, dan ateisme muncul sebagai reaksi atau transformasi dari berbagai perkembangan budaya, termasuk di zaman Yunani Kuno.

“Bahkan pada masa itu, istilah ateis lebih ditujukan kepada kelompok yang memiliki konsep ketuhanan berbeda dari Yunani, bukan semata-mata tidak percaya Tuhan,” kata Anis.

Baca Juga: Film “Pengin Hijrah” Siap Gebrak Bioskop dengan Nuansa Indonesia-Uzbekistan

Antara Kepercayaan Lama dan Alat Sains

Anis menegaskan bahwa keraguan terhadap kebangkitan setelah kematian sudah ada jauh sebelum kemunculan sains modern. Dalam Al-Qur’an, katanya, Nabi Ibrahim sendiri pernah bertanya langsung kepada Tuhan tentang bagaimana manusia dibangkitkan kembali setelah mati.

“Ini bukti bahwa sains bukan sumber dari ketidakpercayaan itu. Ia hanya menjadi alat pembenar atau justifikasi modern terhadap keyakinan lama,” ujar Anis.

Lebih lanjut, ia membedakan antara ilmu dan sains dari sisi epistemologi. Ilmu, menurutnya, mencakup aspek lahir dan batin dari semesta. Sedangkan sains, khususnya pasca-Zaman Pencerahan, hanya berkutat pada sisi lahiriah.

Tuhan Tak Bisa Diringkus Nalar

Soal memahami Tuhan, Anis menyerukan kehati-hatian. Ia menekankan bahwa keberadaan Tuhan memang bisa ditelusuri melalui “ilmu”, tapi bukan dalam batasan persepsi manusia yang terbatas. Manusia, katanya, membutuhkan mata hati atau intellectus untuk mendekati pemahaman tentang Tuhan. Mata hati ini hanya akan aktif bila manusia mampu melepaskan diri dari kemelekatan duniawi.

“Mata hati itu semacam instrumen spiritual. Ia hanya berfungsi jika kita terus-menerus membersihkan diri,” tutur Anis.

Baca Juga: “Imam Maturidi” Kunjungi PBNU, Perkuat Diplomasi Islam Moderat dan Jajaki Kerja Sama Ziarah Sejarah

Di Antara Spiritualitas dan Agama

Sementara itu, Dr Abdul Jalil menambahkan perspektif kritis soal relasi antara sains dan agama. Menurutnya, perlu disepakati terlebih dahulu apakah keduanya saling bertentangan (antagonistik), menyatu (integralistik), atau saling melengkapi (komplementer).

Jalil juga menyoroti tren yang menurutnya cukup mengkhawatirkan: munculnya kelompok yang percaya kepada Tuhan tapi menolak agama. “Spiritual yes, moral yes, but religion no,” kata Jalil. Ia menyebut fenomena ini makin marak di kalangan aktivis sosial dan intelektual.

Anis menyebut fenomena ini sebagai ironi besar. “Beragama tapi tak bertuhan itu ibarat tubuh tanpa ruh, menjadi zombie. Sedangkan bertuhan tanpa agama itu ibarat ruh tanpa tubuh, menjadi hantu,” ujar Anis menutup diskusi.

Diskusi yang berlangsung intens itu dibalut suasana hangat berkat penampilan musik dari Sampak GusUran, dan diikuti ratusan peserta secara langsung maupun daring melalui kanal Suluk Maleman. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here