spot_img
spot_img

Membaca Ulang Peta Konsep Trilogi Ukhuwah KH. Achmad Siddiq, Jalan Terang Menuju Pilkada Damai 2024

Aswajatv.id – Pemilu 2024 telah terselenggara dengan damai tanpa adanya disintegrasi. Sebuah capaian bersama yang patut diapresiasi. Kini, prestasi tersebut akan kembali diuji pada pemilihan kepala daerah yang tinggal menghitung hari. Berbeda dari Pilpres dan Pileg, Pilkada akan lebih menguras energi. Keterlibatan langsung para tokoh masyarakat dan agama dengan membawa nilai-nilai primordial, menjadi penyebab semakin runcingnya polarisasi dan panasnya tensi pada saat Pilkada nanti.

Oleh : M. Awalludin Al Ayubi (Aktivis Muda NU)
Penulis: M. Awalludin Al Ayubi (Aktivis Muda NU)

Dalam menyikapi kerentanan tersebut, tentunya kita mempunyai tanggung jawab bersama untuk mengawal Pilkada agar tetap berada di jalan yang damai dalam bingkai persatuan dan kesatuan. Upaya menuju ke jalan itu tentunya tidaklah mudah, perlu ada semacam kredo yang tumbuh subur dalam hati dan pikiran setiap masyarakat sehingga dapat menjadi pedoman dalam menentukan gerak dan langkah ke depan. Kredo itu adalah konsep trilogi ukhuwah yang dirumuskan KH. Achmad Siddiq. Seorang ulama kharismatik dan sekaligus tokoh bangsa dari Nadhlatul Ulama.

Pada Munas NU tahun 1987 di Cilacap, KH. Achmad Siddiq mengutarakan sebuah gagasan pluralistik-inklusif bahwa; “Setiap orang tidak perlu dibedakan hanya karena berlainan agama atau keyakinan.” Melalui dasar inilah, KH. Achmad Siddiq mencetuskan konsep trilogi ukhuwah sebagai point of view yang mesti tertanam dalam hati dan pikiran setiap anak bangsa, khususnya masyarakat NU agar tercipta tatanan masyarakat yang harmoni dengan penuh rasa persatuan dan persaudaraan.

Trilogi ukhuwah itu adalah ukhuwah islamiyyah (persaudaraan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan). Ketiga paham tersebut saling berkorelasi dan mengisi ruang-ruang kosong agar menjadi utuh sebagai satu kesatuan. Dalam kaitannya dengan Pilkada, trilogi ukhuwah ini menjadi sangat penting dipropagandakan untuk mendinginkan hawa panas dalam ruangan kontestasi politik lokal.

Eskalasi politik yang kian memanas jelang Pilkada dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk memecah belah bangsa, salah satu caranya adalah dengan menggoreng isu agama. Black Campaign dengan menjual sisi keberagamaan salah satu pasangan calon memang sangat laris didagangkan menjelang pesta demokrasi. Strategi ini terbukti jitu untuk menjatuhkan elektabilitas lawan politik, serta mendulang suara. Hal ini tentunya tidak lepas dari kondisi sosial masyarakat Indonesia yang merupakan umat beragama.

Namun, ada harga yang harus dibayar mahal dari penjualan isu agama, yaitu ancaman polarisasi berkepanjangan yang hanya akan menyisakan kebencian dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sebagaimana terjadi pada saat Pilkada di DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Polarisasi tersebut bahkan terus berlanjut di tahun-tahun setelahnya di tataran grassroot ketika justru para elit partai politik sudah saling berjabat tangan dan berbagi jabatan.

Fenomena politisasi agama jelas tidak bagus bagi iklim demokrasi di Indonesia, sekaligus juga mengancam sila ketiga Pancasila yakni persatuan Indonesia. Penawar untuk menghadapi penyakit tersebut agar tidak terulang lagi adalah dengan menumbuhkan kesadaran bahwa kita sesama anak bangsa adalah bersaudara.

Jika perbedaan itu terjadi antar sesama muslim yang disebabkan pilihan politik, pandangan keagamaan, atau hal lainnya, setajam apapun, maka janganlah fokus melihat sisi yang tidak sama itu, tapi lihatlah dari sisi yang sama, bahwa kita sama-sama muslim (ukhuwah islamiyyah). Bukankah dalam hadis dikatakan bahwa setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya (H.R. Bukhari dan Muslim).

Apabila perbedaan tercipta di tengah-tengah lingkungan yang plural dengan agama, suku, ras, dan budaya yang variatif, maka pandanglah persamaannya dalam sisi keindonesiaan. Bahwa kita memang berbeda dalam agama, suku, dan budaya, tetapi kita satu bangsa dan negara yaitu Indonesia, yang karena itulah kita menjadi saudara (ukhuwah wathaniyyah). Dalam cakupan yang lebih luas lagi, kita adalah saudara sesama manusia (ukhuwah basyariyyah).

Dengan spirit persaudaraan tersebut perbedaan sebesar apapun akan tetap mampu bergandengan tangan untuk mencapai tujuan bersama. Pada akhirnya, kita akan memahami bahwa  perbedaan merupakan suatu keniscayaan dalam setiap unsur kehidupan. Islam memandangnya sebagai sunnatullah (God’s Law) yang mesti diterima secara bijaksana. Terlebih, dalam perkara yang tidak fundamental seperti perbedaan pilihan politik. Perbedaan dalam memilih pemimpin baik ditingkat apapun mesti disikapi dengan penuh kedewasaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan persatuan.

Penulis: M. Awalludin Al Ayubi (Aktivis Muda NU)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular